Oleh : Maspril Aries
Saya mendengar seperti ada orang berteriak, “Bahasa terbunuh … bahasa terbunuh.” Saya coba meyakinkan diri apakah sedang bermimpi? Saya pun berusaha mendatangi sumber suara, menuju ke tempat kejadian perkara (TKP), ternyata berada di ruang publik. Di ruang publik saya menemukan ada bahasa Indonesia yang “terbunuh,” diganti dengan bahasa asing, juga ada diantaranya bahasa daerah.
Ruang publik tersebar di mana-mana, ada di kota dan ada di desa. Di kota saya menemukan lebih banyak bahasa Indonesia yang “terbunuh.” Jika diperhatikan, pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik setiap tahun senantiasa mengalami perubahan sesuai dengan sikap masyarakat terhadap pemakaian bahasa negara tersebut.
Tumpang tindihnya penggunaan bahasa di ruang publik antara bahasa negara, bahasa asing, dan bahasa daerah menjadi hal biasa dan dianggap bukan sebuah kesalahan apa lagi pelanggaran hukum. Bahasa dipakai tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
UU No.24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan pada Pasal 36 ayat 3 menyebutkan, “Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.”
Kemudian pada ayat (4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Penyimpangan atau pelanggaran pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik sangat beragam. Penyimpangan itu ada yang berbentuk penyimpangan kaidah bahasa yang meliputi kesalahan pemakaian kaidah ejaan, diksi, dan struktur sampai penggunaan bahasa asing untuk mengganti kata-kata dari bahasa Indonesia.
Kesalahan pemakaian bahasa di ruang publik bisa disebabkan oleh faktor kesengajaan pemakai bahasa dan faktor terbatasnya pengetahuan pemakai bahasa di ruang publik atau untuk gaya-gayaan biar tampak keren. Atau kita tengah terjebak dalam perasaan inferior lebih bangga menggunakan bahasa asing.
Mereka pengguna bahasa asing di ruang publik mengakui bahasa asing itu sengaja digunakan untuk mendapatkan citra positif, memberikan kesan lebih bagus, lebih berkualitas, lebih bergengsi, lebih berkelas dan sebagainya. Ada juga yang hanya ikut-ikutan menggunakan bahasa asing atau terpengaruh orang lain.
Di ruang publik saya menemukan kata dari bahasa asing Barber Shop seharusnya pangkas rambut, Coffee Break seharusnya rehat kopi, Swimming Pool seharusnya kolam renang, Rest Area seharusnya tempat istirahat, Flyover seharusnya jalan lintas atas atau yang terbaru adalah Light Rail Transit (LRT) seharusnya kereta ringan terpadu (KRT).
Dan masih banyak kata asing lainnya bisa dibaca di ruang publik melekat pada nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi dan lainnya.
Ruang publik kita menjadi “etalase” penggunaan bahasa atau istilah asing. Kita tidak alergi dengan penggunaan bahasa asing. Kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia di ruang publik harus digelorakan kembali. Dalam setiap memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober, apa artinya kita berteriak “Kita Indonesia” tapi kita tetap bangga dengan bahasa asing dan membiarkan bahasa Indonesia “terbunuh.”
Kondisi kebahasaan di Indonesia saat ini memprihatinkan. Bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari telah didominasi oleh bahasa asing, terutama di ruang publik. Bahasa Indonesia dibiarkan “terbunuh” di ruang publik.