Oleh : Riza Tony Siahaan *
Wacana penundaan Pemilu 2024 untuk perpanjangan masa jabatan presiden mengemuka layaknya surat cinta kepada Jokowi. Ketika surat cinta menjelma gaduh politik tentu saja tetap mengarah langsung kepada Jokowi. Apakah benar cinta atau jebakan semata?.
Sikap mendukung dan menolak penundaan Pemilu 2024 untuk perpanjangan masa jabatan presiden menjadi manuver politik yang gaduh. Tidak hanya partai politik, organisasi masyarakat, dan berbagai kalangan lainnya turut mengambil sikap, media sosial pasti tidak ketinggalan ramainya. Faksi yang mendukung wacana tersebut beralasan, pemulihan pandemi covid 19 dan kondisi ekonomi nasional. Faksi yang menolak mengatakan, penghianatan Reformasi dan mengangkangi konstitusi, bahkan penjahat demokrasi.
Sedikit keluar dari pendapat mendukung dan menolak, surat cinta wacana penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden bisa jadi terkondisi karena kondisi internal partai itu sendiri, ada partai yang jika kita coba untuk membedah, ada partai yang belum memiliki bangunan infrastruktur poitik yang kuat dan tidak memiliki calon dengan elektabilitas yang memadai untuk menghadapi Pemilu 2024. Meskipun secara tehnis banyak hal yang jika dikerjakan dengan sistematis, massif dan terukur dapat melahirkan kandidat yang mumpuni.
Surat cinta yang menjadi gaduh politik ini tetap mengarah kepada Jokowi. Surat cinta kegaduhan politik mungkin begitu tepatnya, Surat cinta akan kegaduhan inipun berbalas, Jokowi menanggapi, bahwa ia tunduk patuh terhadap konstitusi dan tidak bisa melarang apabila ada yang mewacanakan penundaan Pemillu 2024, karena itu bagian dari demokrasi.
Gaduh politik ini tidak begitu saja usai karena dijawab dengan sederhana oleh mpunya, tidak berselang lama dari pernyataan Jokowi tersebut, tanggapan bermunculan. Pernyataan Jokowi menjadi perdebatan dan dipertentangkan dengan pernyataan sebelumnya. Kalau dulu menampar mukanya, kenapa sekarang menjadi bagian dari demokrasi ?.
Jokowi memang pernah menanggapi terkait wacana presiden dipilih tiga periode. Menurutnya ; Yang pertama, ingin menampar mukanya. Yang kedua ingin mencari muka, padahal ia udah punya muka. Yang ketiga ingin menjerumuskan. Pada kesempatan lainnya, Jokowi menegaskan tidak berniat menjadi presiden tiga periode, konstitusi sudah mengamanatkan dua periode.
Amanat konstitusi tetaplah amanat konstitusi yang tidak akan berubah hanya karena pendapat Presiden. Wacana penundaan Pemilu 2024 atau tiga periode jabatan presiden, yang ditanyakan kepada Jokowi seperti surat cinta salah alamat.
Mungkin cintanya benar, namun jelas alamatnya salah. Karena bukan ke Istana negara sejatinya alamat itu ditujukan. Terkait Amandeman UUD 1945 secara konstruksi konstitusi adalah domain MPR. Dimana tertulis pada Pasal 37 ayat 1 dan 2 UUD 45, usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pasal 37 UUD 45 tersebut seakan mengatakan perubahan konstitusi adalah konstitusi itu sendiri. Dan tentu saja segala hal terkait dengan perubahan konstitusi yang konstitusional akan ditempuh melalui jalur konstitusi.
Sepertinya, bukan pernyataan dan hanya sikap Presiden yang perlu dinanti dan dipertentangkan, tapi manuver politik 1/3 jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang perlu mendapat perhatian lebih yang dapat mengusulkan amandeman UUD 45 dan untuk mengamendeman UUD 45 disyaratkan 2/3 anggota MPR.
Bagaimana posisi partai terhadap wacana tersebut ?. Wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu 2024 lantang disuarakan tokoh politik Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Golongan Karya (Golkar). Dengan peta politik seperti, PKB, PAN, dan Golkar hanya butuh 2 dukungan partai lagi untuk mengajukan usulan Amandeman UUD 45.
Penolakan perpanjangan masa jabatan Presiden dan penundaan Pemilu 2024 lebih dulu datang dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrat (PD), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Gerindra tidak terburu-buru mengambil sikap.
Manuver politik tidak terelakkan menjadi sarapan para elit poitik dalam nuansa demokrasi. Manuver politik yang menjadi gaduh sampai ke akar rumput tentu sangat disayangkan. Pandemi covid 19 dan kondisi ekonomi nasional, langka dan mahalnya bahan pangan, dampak perang Rusia-Ukraina, serta kondisi lainnya, bukan hanya dijadikan alasan pembenaran dari manuver politik, melainkan menjadi pekerjaan serius negara yang harus diselesaikan.
Karena, sejatinya surat cinta bukan hanya dialamatkan kepada Jokowi, melainkan kepada bangsa Indonesia. Merubah konstitusi adalah dengan konstitusi itu sendiri. Itulah cinta sejati, cinta NKRI.
*Koordinator Analisis Indogate8