Dosen UIN Raden Fatah Isi Kuliah Tamu di UIN Antasari tentang Kesetaraan Gender

KATANDA, Banjarmasin – Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam (FUSHPI) Universita Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Anisatul Mardiah hadir di UIN Antasari, Banjarmasin.

Kehadiran Anisatul Mardiah yang juga Wakil Dekan III FUSHPI, Kamis (8/6/23) tersebut untuk mengisi kuliah tamu pada Program Studi Agama Agama Fakultas Ushuludin dan Humaniora UIN Antasari.

Bacaan Lainnya

Peraih gelar PhD dari Malaysia tersebut menyampaikan materi bertema “Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Agama.” Dalam kuliahnya disampaikan tentang sejarah peradaban umat manusia jauh sebelum datangnya Islam, telah dikenal adanya dua peradaban besar yaitu peradaban Yunani dan peradaban Romawi. Selain itu, dunia juga mengenal adanya dua agama besar, yaitu Yahudi dan Nasrani.

Menurut Anisatul, soal eksistensi kaum perempuan dalam perputaran waktu pada masa peradaban- peradaban serta agama-agama tersebut memiliki nuansa tersendiri. Pada puncak peradaban Yunani menggambarkan kaum perempuan diberi kebebasan hanya untuk memenuhi kebutuhan dan selera kaum lelaki.

Selanjutnya dalam peradaban Romawi, kaum perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya dalam kedudukannya sebagai kepala rumah tangga.

“Gender sendiri adalah perbedaaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran, fungsi dan tanggungjawab yang dikonstruksikan oleh tata nilai sosial dan budaya setempat,” katanya.

Dosen FUSHPI ini juga menjelaskan tentang kedudukan perempuan dalam Islam, bahwa Perempuan sangat terhormat dan mulia dalam masyarakat Islam. Perempuan dan laki-laki tidak berbeda dalam urusan ibadah dan menuntut ilmu.

“Surga terletak di bawah kaki Ibu, anak perempuan menjadi pembebas bagi orang tua dari api nereka. Orang pertama yang beriman kepada kerasulan Muhammad adalah perempuan (Siti Khadijah), Orang pertama yang mati syahid adalah perempuan, yaitu Sumayyah,” ujarnya.

Dalam bagian lain kuliahnya, juga dijelaskan tentang kesetaraan gender dalam al-Qur’an, bahwa laki-laki  dan perempuan sama-sama sebagai hamba Allah, sebagaimana ditegaskan dalam QS. adz-Dzariat [51]: 56

Bahwa Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai khalifah Allah sebagaimana ditegaskan QS. al-An‟am [6]: 165 dan al- Baqarah [2]: 30. Selain itu laki-laki dan perempuan sama-sama menerima perjanjian primordial sebagaimana ditegaskan dalam QS. al-A‟raf [7]: 172.

Laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa) sama-sama terlibat aktif dalam peristiwa drama kosmis, sebagaimana terekam dalam banyak ayat seperti QS. al-Baqarah [2]: 35, al-A‟raf: 20 dan 22, serta 23 dan al-Baqarah: 187.

Laki-laki dan perempuan berpotensi yang sama dalam meraih prestasi sebagaimana terdapat dalam QS. Ali „Imran [3]: 195, an-Nisa‟ [1]: 124, an-Nah{l [16]: 97 dan Ghafir [40]: 40.

Anisa mengakui jika terdapat ketidakadilan gender dalam masyarakat, adanya indikasi marginalisasi, dimana perempuan terpinggirkan dilingkungan kerja, subordinasi, perempuan dinomorduakan karena dianggap lemah, streotipe, perempuan sering dilabeli dengan sebutan-sebutan yang negatif, misalnya: kurang cerdas dan emosional, boros, santai, penakut, cerewet, tidak tegas, senang menggosip dan lain-lain.

“Sedangkan laki-laki dianggap mempunyai sifat agresif, rasional, independen, percaya diri dan pemberani, Kekerasan, perempuan rentan mengalami kekerasan (fisik/verbal),” ujarnya.

Anisatul juga menjelaskan tentang beberapa faham yang bias gender, di antarnya, terusirnya Adam dari surga akibat ulah Hawa, sehingga Hawa dihukum dengan tiga hal, yaitu: menstruasi, dijadikan sebagai makhluk yang bodoh dan melahirkan bayi dengan susah payah.

Perempuan tidak boleh jadi pemimpin karena Alquran menyatakan Laki-laki sebagai pemimpin. Perempuan tidak boleh bepergian sendirian.  Perempuan bisa masuk surga bila taat dengan suami  tanpa penjelasan bahwa suami pun bisa masuk surga bila memperlakukan istri dengan baik

“Faktor penyebab bias gender di antaranya, Pemahaman agama yang tidak utuh, budaya patriarkhi, hadis-hadis misogini dan pemahaman fikih yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Kitab fikih yang dibuat ratusan tahun lalu dicetak ulang tanpa mempertimbangkan kondisi sekarang,” katanya. (ril/mas)

Pos terkait